ASMAT [LINTASTIMOR.ID] –
Minggu itu, 21 September 2025, Distrik Kolf Braza diselimuti langit kelabu. Hanya desau angin rawa yang menemani sunyi, sebelum dentum senjata mengoyak udara.
Di tengah dusun kecil, Indra Guru Wardana terkapar. Peluru KKB Kodap XVI Yahukimo pimpinan Elkius Kobak menghentikan napasnya. Tak puas, para pelaku kemudian menyiram api pada rumah korban. Dinding kayu terbakar, atap runtuh, tanah pun menyimpan abu.
“TKP berjarak cukup jauh dari Polsek Suator dan komunikasi juga tidak terlalu baik. Kami masih terus mengumpulkan data lengkap terkait kejadian ini,” kata Brigjen. Pol. Dr. Faizal Ramadhani, Kepala Operasi Damai Cartenz, suaranya berat, seolah menahan duka yang tak bisa diucapkan.
“Bullets speak the language of terror,
but justice whispers louder,
and justice never forgets.”
Warga sekitar hanya bisa bersembunyi. Tak ada yang berani mendekat. Api yang melahap rumah Indra menjadi simbol: betapa mudah rasa aman dibakar oleh kejahatan.
Di antara kengerian itu, aparat mencatat: enam orang bersenjata, satu dengan laras panjang berteleskop, hadir sebagai bayangan maut.
“Negara tidak akan kalah. Keselamatan masyarakat tetap menjadi prioritas,” tegas Kombes. Pol. Adarma Sinaga, Wakil Kepala Operasi Damai Cartenz.
Di tanah Papua, hukum berjalan pelan—meniti jembatan kayu rapuh, menembus lumpur rawa.
Yet, law is alive.
Justice walks slowly, but never abandons the people.
Kolf Braza kini menunggu. Warga bertanya-tanya: kapan senyap kembali pulang? Kapan peluru digantikan doa, dan api berganti cahaya lampu rumah?
Negara menjawab dengan kehadiran aparat. Dengan langkah tegas di tanah basah. Dengan janji yang dibisikkan dalam bara:
“Kami tidak akan meninggalkanmu.
Kami tidak akan kalah.”