Scroll untuk baca artikel
Dirgahayu Indonesia 80
Example 728x250
Gaya HidupPeristiwaPolkam

Budaya Bukan Alat Politik: Menyoal Penobatan Raja Amanuban

23
×

Budaya Bukan Alat Politik: Menyoal Penobatan Raja Amanuban

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Isak Doris Faot, S.Kom
Asal Desa Oof, Kecamatan Kuatnana – Domisili Kabupaten Rote Ndao

Tubuhue: Sebuah Seremoni yang Menyisakan Luka

Example 300x600

Tubuhue, sebuah desa di jantung Amanuban, mendadak ramai. Gong dipukul, tarian adat digelar, dan kain tenun berwarna-warni berkibar di tiang-tiang rumah. Dari kejauhan, suasana ini tampak seperti kebangkitan sebuah tradisi. Namun di balik meriahnya prosesi pelantikan Jonathan Nubatonis sebagai Raja Amanuban, ada luka yang terasa dalam—luka yang tak bisa ditutupi oleh irama gong atau suara okokan.

Bagi sebagian orang, hari itu bukan hari kebangkitan. Ia justru hari pengaburan sejarah.

Raja yang Lahirlah dari Darah, Bukan dari Kuasa

Kerajaan Amanuban memiliki silsilah panjang. Ia bukan kerajaan yang lahir dari keputusan sepihak. Dua dinasti besar membentuk tulang punggungnya: Nuban, sang pendiri awal, dan Nope, penguasa yang melanjutkan tahta selama sebelas generasi.

Nama Don Louis Nope II masih hidup dalam ingatan orang Timor—raja yang tegak menantang kolonialisme. Keturunannya, seperti Pina Nope, menjaga warisan itu dengan pena dan narasi sejarah yang ditulis untuk generasi.

Maka wajar ketika Pina Nope bersuara lantang menolak penobatan Jonathan. Ia menyebut peristiwa itu sebagai “pembelokan sejarah secara liar.”

Saat Politik Menyusup ke Ruang Adat

Jonathan bukan sekadar sosok biasa. Ia mantan politisi yang kini tampil dengan simbolisme budaya tertinggi: raja.

Pertanyaan pun menggema:

“Apakah raja dipilih karena darah, atau karena kuasa?”

Keterlibatan Bupati TTS, Buce Liu, memperkeruh suasana. Alih-alih menjadi penengah dan penjaga harmoni, kehadirannya ditafsirkan sebagai bentuk dukungan politik terhadap sebuah penobatan yang ditolak banyak pihak.

Jika benar prosesi itu disebut sebagai “penyerahan simbolik” kepada empat suku besar (Nuban, Nubatonis, Tenis, Asbanu), mengapa tidak dilakukan dalam forum adat terbuka? Mengapa suara feto-mone, tokoh adat, dan keturunan dinasti sah tak dihadirkan?

Budaya yang Dijadikan Ornamen

Budaya, dalam pandangan orang Timor, bukan barang pajangan. Ia bukan sekadar tarian, nyanyian, atau mahkota yang dikenakan saat upacara. Budaya adalah ruh hidup yang bersemayam dalam tubuh masyarakat, dalam kisah lisan, dalam alur keturunan, dalam tanah yang dipijak.

“Budaya tidak boleh dijadikan kendaraan politik. Ia bukan properti yang bisa dipinjamkan hanya karena alasan kekuasaan.”

Sebagai bagian dari marga Faot, saya mengenal betul cerita-cerita tentang Amanuban. Cerita itu hidup di lopo-lopo, diwariskan dalam percakapan malam, di antara api unggun dan tiupan angin pegunungan. Dan kini, sejarah itu telah diperkuat dalam tulisan oleh Pina Nope. Ia kokoh, tak bisa dibengkokkan sesuka hati.

Kudeta Simbolik atas Warisan Leluhur

Modernisasi budaya boleh dilakukan. Kita bisa menyesuaikan cara, mengemas ulang prosesi agar relevan dengan zaman. Tapi yang tak boleh disentuh adalah makna dan akar sejarahnya.

Penobatan yang dilakukan bukan oleh masyarakat adat, melainkan melalui jalur politik, bukan kebangkitan budaya. Itu adalah kudeta simbolik terhadap warisan leluhur.

Pertanyaan untuk Anak Cucu

Hari ini, pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah:
Apakah kita masih menghormati sejarah leluhur, atau kita menjualnya demi kepentingan politik sesaat?

Jika adat terus ditentukan oleh politik, maka yang hilang bukan sekadar raja, melainkan jati diri kita sebagai orang Timor.

Saya percaya, darah lebih pekat daripada kuasa.
Budaya bukan ornamen pesta. Ia adalah ruh yang diwariskan, marwah yang dijaga.

Jika kita jujur pada sejarah, anak cucu kita tidak akan tumbuh dalam kebingungan. Mereka akan mengenal siapa yang sebenarnya mereka warisi, dan berjalan tegak dengan identitas yang utuh.


 

Example 300250