Scroll untuk baca artikel
Bupati  mimika
Example 728x250
BeritaKabupaten MimikaNasionalPolkam

70 Ribu Hektar Tanah Negara di Mimika: Jejak Ulayat, Jejak Sejarah, dan Jejak Tanggung Jawab

170
×

70 Ribu Hektar Tanah Negara di Mimika: Jejak Ulayat, Jejak Sejarah, dan Jejak Tanggung Jawab

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

TIMIKA |LINTASTIMOR.ID) — Sejauh mata memandang, tanah di Mimika bukan sekadar hamparan bumi. Ia adalah ingatan, warisan, dan perjanjian yang dititipkan oleh leluhur. Karena itu, ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Mimika menegaskan status 70 ribu hektar tanah sebagai tanah negara, percakapan tentang ruang hidup pun kembali menemukan nadanya.

Kepala BPN Mimika, Yosep Simon Done, menyampaikan bahwa status ini merupakan konsekuensi dari pelepasan hak ulayat yang dilakukan oleh 16 kepala suku pada 16 Maret 1985—sebuah momentum yang mengubah hubungan masyarakat adat dengan tanahnya.

Example 300x600

“Dengan status tanah negara ini, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk mengelola dan memanfaatkannya demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Yosep, Jumat (14/11).

Yosep menjelaskan bahwa tanah tersebut terbagi ke dalam dua kategori: tanah negara bebas, yaitu tanah adat yang telah dilepaskan namun belum tersertifikasi, dan tanah negara yang berasal dari bekas wilayah adat yang telah diserahkan kepada negara. Dua kategori yang sama-sama memikul sejarah panjang, sekaligus harapan baru.

Namun, Mimika bukan ruang yang sederhana. Pengelolaan tanah di wilayah ini menghadapi tantangan yang muncul dari penguasaan lahan oleh berbagai pihak, termasuk pendatang dari luar Papua. Pada titik inilah potensi konflik sering tumbuh—diam-diam, lalu tiba-tiba.

“Masalah tanah di Mimika sangat kompleks. Karena itu penanganannya membutuhkan kerja sama dari banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, tokoh adat, dan masyarakat,” kata Yosep.

BPN Mimika kini terus berupaya mengamankan tanah negara sekaligus membantu masyarakat adat memperoleh kepastian hukum melalui sertifikasi. Sosialisasi dan mediasi menjadi jalan tengah untuk meredakan ketegangan dan membangun pemahaman.

Lebih jauh, Yosep menekankan bahwa Papua tidak bisa diperlakukan seperti daerah lain. Ada tradisi, ada struktur adat, ada sejarah yang tak boleh diputus begitu saja.

“Pendekatan pertanahan di Papua harus menghormati hak-hak masyarakat adat. Kami berharap kepala kampung berperan aktif mengamankan tanah adat, sekaligus mendukung proses sertifikasi,” tegasnya.

Pada akhirnya, tanah Mimika adalah cermin: mengingatkan bahwa pembangunan bukan hanya tentang membuka lahan, tetapi membuka ruang dialog. Dan bahwa kesejahteraan hanya akan hadir ketika negara dan adat berjalan seiring—dengan sepenuh hormat pada sejarah yang berdiri di bawah kaki mereka.

Example 300250