TIMIKA, |LINTASTIMOR.ID|— Angka itu berdiri dingin: 101 anak. Sebuah catatan yang lahir dari Distrik Kwamki Narama, Mimika, Papua Tengah—dan sekaligus menjadi penanda betapa rapuhnya masa depan generasi kecil di tanah ini. Di sembilan kampung dan satu kelurahan, stunting masih menjadi bayang-bayang yang menempel pada kehidupan sehari-hari warga.
Sejak data itu diungkap, aroma kesibukan terasa meningkat di Puskesmas Kwamki Narama. Para tenaga kesehatan mulai kembali turun ke kampung-kampung, seolah menegaskan bahwa pertempuran ini belum selesai. Kepala Puskesmas, dr. Armin, berbicara dengan nada datar namun menyimpan kegelisahan yang tak pernah benar-benar padam.
“Stunting bukan sekadar persoalan tinggi badan. Ini menyangkut masa depan anak-anak kita,” ujar dr. Armin, Rabu pagi itu.
Ia tahu, memerangi stunting tak cukup dengan sebuah program tahunan. Ini adalah kerja jangka panjang—kerja yang memerlukan kehadiran pemerintah, ketekunan petugas gizi, dan kesadaran orang tua yang harus terus dibangunkan.
Intervensi kini digencarkan lebih terarah: pemeriksaan anemia pada remaja putri, pemberian tablet tambah darah, hingga distribusi makanan tambahan bagi ibu hamil dan balita. Sejumlah petugas kembali menyusuri jalanan kampung yang sempit, mendatangi rumah-rumah yang jauh dari pusat pemerintahan.
“Kami fokus pada kampung. Di sanalah sumber perubahan itu harus dimulai,” kata Armin.
Di ruang kerja sederhana itu, ia menandai satu per satu wilayah intervensi—sembilan kampung dan satu kelurahan yang menjadi titik rawan. Setiap titik membawa cerita: anak-anak yang berat badannya tak tumbuh sesuai umur, remaja putri yang anemia, ibu hamil yang masih kekurangan asupan.
Stunting, yang selama ini kerap hanya tampak sebagai isu statistik, berubah menjadi wajah-wajah kecil yang matanya mengikuti pergerakan petugas kesehatan. Rumah demi rumah, kader membawa pesan yang sama: gizi tidak boleh diabaikan.
Dalam banyak kesempatan, masyarakat diminta lebih terbuka, lebih aktif, lebih sadar akan pentingnya pola makan yang benar. Sebab, sebagaimana ditekankan Armin, upaya medis tak akan cukup tanpa partisipasi mereka yang paling dekat dengan anak-anak itu.
“Kami butuh dukungan masyarakat. Ini perjuangan bersama, bukan hanya Puskesmas,” ucapnya.
Di Kwamki Narama, stunting bukan sebatas isu kesehatan. Ia adalah cermin tentang bagaimana akses, pola hidup, dan pengetahuan saling bertabrakan. Ia adalah pengingat bahwa masa depan sebuah distrik dapat berubah hanya karena gizi yang tak terpenuhi pada hari-hari awal kehidupan seorang anak.
Dan di Mimika, di tanah yang selalu bergerak antara pembangunan dan tantangan sosial, angka 101 itu menjadi semacam alarm. Sebuah panggilan yang membuat semua pihak kembali menunduk sebentar, lalu bangkit untuk bekerja lebih keras.
Sebab stunting bukan tentang hari ini. Ia tentang anak yang belum bisa memilih hidupnya—dan tentang masyarakat yang masih punya waktu untuk memperbaiki jalan yang akan mereka tempuh.
















